FIQAH DAULAH DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN DAN SUNNAH
Oleh Dr Yusuf al-Qardhawy
1. KEDUDUKAN DAULAH MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
Imperialis barat yang menguasai masyarakat Muslim mampu menanamkan satu pemikiran yang aneh dan menjijikkan
di dalam akal dan jiwa mereka, bahawa Islam adalah agama dan bukan daulah. Agama itu sendiri menurut pengertian barat, bagaimana
mereka mengertikan agama. Urusan daulah tidak ada kaitannya dengan agama. Hal ini merupakan produk akal manusia semata, sesuai
dengan pengalaman dan keadaan di sekitarnya.
Apa yang terjadi terhadap agama Nasrani di Barat hendak mereka terapkan terhadap Islam di Timur. Kebangkitan
di sana tidak tercipta kecuali setelah membebaskan diri dari kekuasaan agama, maka begitu pula yang harus terjadi di negara
kita di dunia timur, Arab dan Islam, kita harus menyingkirkan agama.
Pengertian agama di sana adalah Gereja, kekuasaan Biskop, para paderi dan pastor yang hanya berkaitan dengan
urusan perasaan dan rohani. Agama macam apa jika dibandingkan dengan agama di sini, yang di dalamnya tidak ada para paderi,
pastor dan keterbatasan pada urusan perasaan dan rohani semata?
Apa pun yang terjadi, imperialis Barat telah berhasil menciptakan sekian banyak golongan yang percaya bahawa
agama tidak mempunyai tempat untuk mengarahkan dan mengatur daulah, bahawa agama berdiri sendiri dan pemerintahan berdiri
sendiri. Hal ini terjadi pada Islam, sebagaimana yang terjadi pada Nasrani. Di antara slogan menyesatkan yang banyak beredar,
"Agama adalah milik Allah dan negara adalah milik semua orang." Ini perkataan yang benar, namun diertikan secara batil. Padahal
slogan ini boleh dibolak-balik dari segala sudut sehingga dapat kita katakan, "Agama adalah milik Allah, begitu pula negara."
Dengan kata lain, agama adalah milik semua orang, begitu pula negara. Atau, agama adalah milik semua orang dan negara adalah
milik Allah.
Perkataan mereka, "Agama adalah milik Allah," maksudnya agama ini hanya sekadar hubungan manusia dengan Allah,
sehingga agama ini tidak mempunyai tempat untuk mentadbir kehidupan dan masyarakat.
Contoh praktikal yang paling nyata dari hal ini adalah Daulah Ilmaniyah
(pemerintahan sekular) yang didirikan Kamal Attaturk di Turki, yang dipaksakan dengan menggunakan tangan besi,
api dan darah terhadap semua rakyat Turki yang beragama Islam, setelah menguburkan khilafah Uthmaniyah, yang pada hakikatnya
merupakan benteng politik terakhir bagi Islam, setelah sekian abad bergelut melawan Salibisme dan Zionisme Antarabangsa.
Kemudian pemerintahan lain di dunia Islam meniru Turki yang baru, dengan kadar yang berbeza-beza, sehingga
Islam disingkirkan dari hukum dan perundangannya mengenai masalah tindak pidana (jenayah) dan perdata (pengadilan) serta lain-lainnya.
Akhirnya Islam hanya dibatasi pada "keadaan individual". Islam juga disingkirkan agar tidak ikut campur dan mempengaruhi pengajaran,
pendidikan dan masalah-masalah sosial, kecuali dalam hal-hal yang remeh. Tapi untuk tuntunan dari Barat, pendidikan dan tradisi
ala Barat, pintu dibukakan selebar-lebarnya.
Para pemimpin
politik dunia Arab tidak berhenti terpesona terhadap trend Attaturk. Sehingga ada seorang pemimpin parti yang cukup terkenal
di Mesir, dan sekaligus Perdana Menteri pada saat itu, menegaskan hal ini dengan berkata, "Saya benar-benar memuji terhadap
pemikiran dan pemahaman Attaturk tentang daulah yang moden." Kemudian Asy-Syahid Hasan Al-Banna membidas ucapannya ini dan
diterbitkan di harian Al-Ikhwanul- Muslimun.
Di antara fenomena kejayaan invasi intelektual yang dilancarkan dunia Barat, bahawa pemikiran sekularisme
yang menyusup dan yang menyerukan pemisahan agama dan daulah, tidak hanya terhad di kalangan orang-orang "Moden", tetapi juga
menyusup ke sebahagian orang yang menekuni bidang-bidang studi agama di universiti Islam yang sudah mengakar, seperti Al-Azhar,
sebagai contoh boleh dilihat dalam buku karangan Syaikh Ali Abdurrazaq, Al-Islam Wa Ushulul-Hukmi
(Islam dan Prinsip-prinsip Hukum).
Secara jujur dapat kami katakan, buku ini telah menggemparkan masyarakat secara luas dan Al-Azhar secara
khusus pada saat terbitnya. Bahkan kemudian dibentuk satu jawatankuasa khusus yang ahlinya terdiri dari para ulama Al-Azhar
terkemuka, untuk mengadili pengarangnya. Akhirnya diputuskan pencabutan gelar akademiknya dan dia dikeluarkan dari barisan
para ulama. Hampir semua ulama dan para pemikir juga menyampaikan bantahan terhadap tulisannya itu, baik dari kalangan Al-Azhar
mahupun diluar Al-Azhar[1].
Jadi harus ada sikap tegas dalam menghadapi sekularisme dan para jurucakapnya, dengan cara menegaskan universaliti
Islam serta mengupas secara jelas sisi yang hidup ini dari segi hukum dan pengajarannya, iaitu sisi daulah, penataan dan pengarahannya,
dengan segala hukum dan adab-adabnya. Harus ditegaskan pula bahawa masalah ini merupakan bahagian yang tidak boleh dipisahkan
dari tatanan (sistem) Islam, yang menonjol kerana pencakupannya untuk semua zaman, tempat dan manusia, yang Kitabnya turun
menjelaskan segala sesuatu, sebagaimana firman Allah (yang bermaksud):
"Dan, Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (An-Nahl :89)[2]
Dalil dari Nas Islam
Ini bukan merupakan inovasi yang berasal dari harakah Islam, para pendiri dan penyerunya, tetapi inilah yang
memang dinyatakan nas Islam yang nyata, yang terjadi dalam sejarah dan memang begitulah tabiat dakwahnya.
Tentang nas Islam, kita cukupkan pada dua ayat dari Surah An-Nisa`(yang bermaksud):
"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah, taatilah Rasul-(Nya) dan ulil-amri di antara kalian." (An-Nisa`: 58-59)
Seruan dalam ayat pertama (58) ditujukan kepada para ulil-amri dan penguasa, agar mereka memperhatikan amanat
dan menetapkan hukum secara adil. Mensia-siakan amanat dan keadilan merupakan ancaman yang ditandai dengan kehancuran umat
dan negara. Di dalam As-Sahih disebutkan (yang bermaksud):
"Jika amanat disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Ada yang bertanya: Bagaimana mensia-siakannya? Baginda
menjawab: Jika urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. " (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Sedangkan seruan dalam ayat kedua (59) ditujukan kepada rakyat yang Mukmin, bahawa mereka harus taat kepada
"Ulil-amri". Tetapi dengan syarat, ketaatan ini dilakukan setelah ada ketaatan (sebahagian di antara ulil-amri) kepada Allah
dan Rasul-Nya. Di samping itu, ada pula perintah untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya jika terjadi silang pendapat, atau
kepada Al-Qur`an dan Sunnah. Hal ini mengharuskan orang-orang Muslim memiliki daulah yang ditaati. Jika tidak, urusan ini
pun menjadi sia-sia.
Dengan mengkaji dua ayat ini saja, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah mengarang bukunya yang terkenal, As-Siyasah Asy-Syar`iyah Fi Ishalhir-Ra` y War-Ra`iyyah. Semua bahagian dalam buku ini
merujuk kepada dua ayat yang mulia tersebut.
Jika kita beralih ke Sunnah, maka kita melihat Rasulullah s.a.w bersabda (yang bermaksud):
"Barangsiapa mati dan di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati dengan kematian Jahiliyah." (Diriwayatkan
Muslim).
Tidak dapat diragukan, orang Muslim diharamkan berbaiat kepada penguasa mana pun yang tidak komited terhadap
Islam. Baiat yang membebaskannya dari dosa adalah baiat terhadap orang yang berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Jika
tidak ada, maka semua orang Muslim berdosa hingga ada penerapan hukum Islam, sehingga ada pula baiat yang dituntut itu. Orang
Muslim tidak terbebas dari dosa ini, kecuali dengan dua hal:
1) Dengan pengingkaran, sekalipun hanya di dalam hati kerana tidak memiliki kemampuan terhadap keadaan yang
menyimpang ini dan bertentangan dengan syariat Islam.
2) Dengan usaha secara berterusan untuk membangkitkan kehidupan Islam yang lurus menurut tuntunan hukum Islam
yang benar. Usaha ini akan sia-sia jika dilakukan secara perseorangan. Jadi dia harus bergandingan tangan dengan ikhwannya
yang meyakini apa yang juga diyakininya. Sebab orang Mukmin dengan orang Mukmin lainnya seperti sebuah bangunan yang kukuh,
satu bahagian menguatkan bahagian lainnya.
Di sana ada berpuluh-puluh hadis sahih yang membicarakan masalah khilafah, imarah, pengadilan, para pemimpin,
sifat-sifat pemimpin, hak-hak mereka untuk membantu setiap kebajikan, nasihat bagi mereka, taat kepada mereka dalam keadaan
apa pun, sabar menghadapi kekurangan mereka, batasan-batasan kesabaran ini, batasan kewajipan mereka menegakkan hukum Allah,
memperhatikan hak-hak rakyat, meminta pendapat para penasihat, melantik orang-orang yang kuat dan dapat dipercayai, mengambil
orang-orang yang salih sebagai bawahan, keharusan menegakkan solat, mengeluarkan zakat, menyuruh kepada makruf, mencegah dan
yang mungkar dan lain-lainnya dari pelbagai masalah daulah, hukum dan pemerintahan.
Oleh kerana itu kita boleh melihat masalah khilafah dan kepimpinan disebutkan dalam buku-buku akidah dan
dasar-dasar agama, seperti yang juga kita lihat dalam buku-buku fiqah. Di sana kita melihat ada buku-buku khusus tentang masalah
daulah, dalam kaitannya dengan perundangan, hukum, ekonomi, politik, seperti buku Al-Ahkamus
Sultaniyah, karangan Al-Mawardy. Buku lain yang serupa dengan ini juga dikarang Abu Ya`la. Ada pula buku Al-Ghiyathy karangan Imamul-Haramain, As-Siyasah
Asy-Syar`iyah karangan Ibnu Taimiyah, Tahrirul-Ahkam karangan Ibnu
Jama`ah, Al-Kharraj karangan Abu Yusuf, buku yang serupa juga dikarang Yahya
bin Adam, karangan Abu Ubaid, dan buku serupa juga karangan Ibnu Zanjawaih, dan lain-lain yang sengaja sebagai rujukan bagi
pakar hukum, seperti buku At-Turuqul-Hukmiyah , Mu`inul-Hukkam dan lain-lain.
Bukti Sejarah Islam
Sejarah Islam telah mengungkapkan kepada kita bahawa Rasulullah s.a.w telah berusaha sedaya upaya dengan
mengerahkan kekuatan dan fikiran, yang dibantu hidayah wahyu, untuk mendirikan daulah Islam dan negara bagi dakwah baginda
serta penyelamatan para pengikut baginda. Tidak ada bentuk kekuasaan yang diterapkan atas mereka kecuali kekuasaan syariat.
Oleh kerana itu baginda sendiri yang mendatangi pelbagai kabilah, agar mereka beriman kepada baginda, mendukung dan ikut menjaga
dakwah baginda, hingga akhirnya Allah menganugerahkan "Ansar" dari kalangan Aus dan Khazraj, yang beriman kepada risalah baginda.
Tatkala Islam mulai menyebar di kalangan mereka, maka pada musim haji datang utusan dari mereka, yang terdiri dari tujuh puluh
tiga orang lelaki dan dua wanita, lalu mereka berbaiat kepada baginda, menyatakan kesediaan untuk melindungi baginda sepertimana
mereka melindungi diri sendiri, isteri dan anak-anak mereka, siap untuk tunduk dan taat, memerintahkan kepada yang ma`ruf,
mencegah dari yang mungkar dan seterusnya. Mereka menyatakan baiat atas semua itu, hingga hijrah ke Madinah hanya sekadar
sebagai upaya untuk membina masyarakat Islam yang berdaulat, dengan daulah Islam yang juga berdiri sendiri.
Madinah menjadi "Darul-Islam" (Negeri Islam) dan tapak daulah Islam yang baru, yang dipimpin langsung oleh
Rasulullah s.a.w. Baginda menjadi pemimpin tertinggi kaum Muslimin dan pemimpin mereka, sepertimana baginda menjadi nabi dan
rasul Allah yang diutus kepada mereka.
Bergabung ke dalam daulah ini untuk mendukung kekuatannya, hidup di bawah lindungannya dan berjihad di bawah
panjinya merupakan keharusan bagi sesiapa pun yang masuk Islam saat ini. Imannya belum dianggap sempurna kecuali jika dia
ikut hijrah ke dalam negeri Islam dan keluar dari wilayah orang-orang kafir dan yang memusuhi Islam. Imannya belum dianggap
sempurna kecuali setelah dia ikut dalam barisan jemaah orang-orang mukmin yang berjihad dan yang menjadi sasaran serangan
seluruh dunia saat itu. Allah berfirman (yang bermaksud):
"Dan (terhadap) orang-orang yang beriman tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajipan sedikit pun atas
kalian melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah." (Al-Anfal: 72)
Allah juga
berfirman tentang keadaan orang-orang yang tidak berhijrah ini (yang bermaksud):
"Maka janganlah
kalian jadikan di antara mereka penolong-penolong (kalian), hingga mereka berhijrah kepada jalan Allah." (An-Nisa`: 89)[3]
Ayat-ayat Al-Qur`an juga diturunkan, memberikan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang lebih suka memilih
hidup di wilayah orang-orang kafir dan wilayah perang, tanpa mahu mendukung penegakan agama dan melaksanakan kewajipan serta
syairnya:
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka)
malaikat bertanya: Dalam keadaan bagaimana kalian ini? Mereka menjawab: Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).
Para malaikat bertanya: Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kalian dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas, baik lelaki atau wanita atau
kanak-kanak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkan
mereka. Dan, adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun." (An-Nisa`: 97-99)
Tatkala Rasulullah s.a.w wafat, pertama kali yang menyibukkan para sahabat adalah pemilihan "Pemimpin" bagi
mereka. Bahkan mereka lebih mengutamakan urusan ini daripada penguburan jasad baginda. Maka mereka terus berbaiat kepada Abu
Bakar dan menyerahkan urusan mereka kepadanya. Begitu pula yang terjadi pada setiap dekad setelah ini. Dengan adanya ijma`
sejarah ini, yang dimulai dari era sahabat dan tabi`in, para ulama Islam menggunakannya sebagai dalil tentang kewajipan mengangkat
pemimpin, yang menjadi simbol terpenting dari kewujudan daulah Islam.
Sepanjang sejarahnya, orang-orang Muslim tidak pernah mengenal adanya pemisahan antara agama dan daulah,
kecuali setelah muncul era sekularisme pada zaman sekarang, yang justeru inilah Rasulullah s.a.w pernah memperingatkannya
dan memerintahkan untuk melawannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis Mu`adz (yang bermaksud):
"Ketahuilah, sesungguhnya bulatan penggilingan Islam terus berputar. Maka putarlah ia bersama Islam seperti
apa pun ia berputar. Ketahuilah, sesungguhnya Al-Qur`an dan pemimpin itu (agama dan daulah) akan saling berpisah, maka janganlah
kalian berpisah dengan Al-Kitab. Ketahuilah, kalian akan dipimpin para penguasa yang menetapkan hukum untuk dirinya tidak
seperti ketetapan hukum untuk kalian. Jika kalian membangkang, nescaya mereka akan menghabisi kalian, dan jika kalian patuh,
nescaya, mereka akan menyesatkan kalian. Mereka bertanya: Lalu apa yang akan terjadi pada diri kita wahai Rasulullah? Baginda
menjawab: Seperti yang terjadi pada rakan-rakan Isa bin Maryam, mereka digergaji dan disalib di atas kayu. Mati dalam ketaatan
kepada Allah lebih baik daripada hidup dalam kederhakaan kepada Allah"[4]
Dalil dari Tabiat Islam
Tabiat dan risalah Islam yang bersifat umum dan universal, harus boleh menyusup ke seluruh sisi kehidupan.
Maka sulit digambarkan jika ia mengabaikan urusan daulah dan menyerahkan kepada para ateis atau orang-orang jahat untuk memutarbaliknya
berdasarkan hawa nafsu mereka.
Kerana Islam menyeru kepada displin dan pembatasan tanggungjawab, membenci kezaliman dan penganiayaan dalam
segala hal, maka kita melihat Rasulullah s.a.w memerintahkan kita agar meluruskan saf tatkala solat dan mengangkat orang yang
paling banyak ilmunya sebagai imam. Baginda juga bersabda tentang perjalanan, "Angkatlah salah seorang di antara kalian sebagai
pemimpin."
Dalam buku As-Siyasah Asy-Syar`iyah, Ibnu Taimiyah berkata,
"Mesti diketahui bahawa wilayah (perwalian, pemerintahan) urusan manusia merupakan kewajipan agama yang paling besar. Bahkan
tidak ada ertinya penegakan agama dan dunia tanpa perwalian ini. Kemaslahatan Bani Adam tidak akan berjalan secara sempurna
kecuali dengan membentuk komuniti, kerana sebahagian di antara mereka pasti memerlukan sebahagian yang lain. Dalam komuniti
itu diperlukan seorang pemimpin." Hingga baginda bersabda (yang bermaksud):
"Jika ada tiga orang yang pergi dalam suatu perjalanan, hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara
mereka sebagai pemimpin." (Diriwayatkan Abu Daud)
Baginda juga bersabda (yang bermaksud):
"Tidak diperkenankan tiga orang yang berada di padang yang luas melainkan jika mereka mengangkat salah seorang
di antara mereka sebagai pemimpin." (Diriwayatkan Ahmad)
Rasulullah s.a.w mewajibkan pengangkatan seseorang sebagai pemimpin, sekalipun dalam komuniti yang kecil
saat bepergian. Hal ini merupakan peringatan yang berlaku untuk semua bentuk komuniti.
Allah telah mewajibkan amar ma`ruf nahi mungkar, yang tidak
boleh berjalan secara sempurna kecuali dengan menggunakan kekuatan dan kepimpinan. Begitu pula yang berlaku untuk hal-hal
yang diwajibkan, seperti pelaksanaan jihad, penegakan keadilan, pelaksanaan haji, solat Jumaat, membantu orang yang dizalimi,
menerapkan hukum, yang semuanya tidak akan berjalan secara sempurna kecuali dengan menggunakan kekuatan dan kepimpinan. Oleh
kerana itu ada sebuah riwayat yang menyebutkan, "Sultan itu adalah lindungan Allah di atas bumi." Maka orang-orang salaf,
seperti Al-Fudhail bin Iyadh, Ahmad bin Hambal dan lain-lainnya pernah berkata, "Andaikata kami mempunyai dakwah yang dipenuhi,
tentu kami akan berdakwah kepada Sultan." Sebab dengan kebaikan Sultan, sekian ramai manusia juga menjadi baik.[5]
Tabiat Islam lainnya yang dianggap sebagai manhaj yang hendak menuntun (membimbing) , mentadbir dan mengarahkan
kehidupan, menetapkan hukum bagi masyarakat, mengawal perilaku manusia sesuai dengan perintah Allah, tentu saja tidak cukup
hanya berupa seruan, anjuran, peringatan dan contoh yang baik, tidak menyerahkan hukum, nasihat dan ajaran-ajarannya dalam
pelbagai sektor kehidupan kepada sanubari individu. Sebab jika sanubari ini sakit atau bahkan mati, maka hukum dan ajaran
itu pun akan ikut sakit dan mati. Oleh kerana itu Uthman bin Affan pernah berkata, "Sesungguhnya Allah memberi ilham kepada
penguasa, apa yang tidak Dia berikan kepada Al-Qur`an."
Di antara manusia ada yang mendapat petunjuk Al-Kitab dan neraca keadilan, dan di antara mereka ada yang
tidak boleh dicegah kecuali dengan menggunakan besi dan batu pengasah. Oleh kerana itu Allah berfirman (yang bermaksud):
"Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan), supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan, Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi manusia." (Al-Hadid: 25)
Ibnu Taimiyah berkata, "Sesiapa yang menyimpang dari Al-Kitab, perlu diadili dengan menggunakan besi. Oleh
kerana itu dilihat orang-orang yang menegakkan agama biasanya membawa Mushhaf dan pedang."[6]
Al-Imam Al-Ghazali berkata, "Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan
dunia. Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama merupakan dasar dan sultan merupakan penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki
dasar pasti akan binasa dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan mudah sirna (lenyap). Kekuasaan dan penerapan tidak akan
menjadi sempurna kecuali dengan adanya sultan."[7]
Nas Islam tidak datang menegaskan kewajipan mendirikan daulah bagi Islam. Sejarah Rasulullah dan para sahabat
juga tidak datang sebagai penerapan praktikal dari seruan nas. Tetapi tabiat risalah Islam itu sendiri sudah memastikan keharusan
adanya daulah atau wilayah bagi Islam, agar boleh mengembangkan akidah, syiar, ajaran, pemahaman, akhlak, keutamaan, tradisi
dan syariat-syariatnya di sana .
Islam sangat memerlukan daulah yang bertanggungjawab pada setiap zaman. Tetapi ia jauh lebih memerlukannya
pada zaman sekarang, zaman yang lebih banyak memunculkan "Negara Ideologi". Dengan kata lain, daulah yang mampu membangun
suatu pemikiran, yang seluruh bangunannya didirikan pada prinsip-prinsip yang dikehendaki, baik pendidikan, pengajaran, hukum,
undang-undang, ekonomi dan pelbagai masalah dalam negeri mahupun politik luar negerinya, seperti yang dapat kita lihat secara
jelas di negara-negara komunis dan sosialis. Ilmu pengetahuan moden yang didukung dengan kemajuan teknologi siap membantu
daulah, sehingga dengan begitu daulah boleh mempengaruhi keyakinan rakyat, fikiran, perasaan, citarasa dan perilakunya secara
lengkap, yang tidak pernah ada seperti itu sebelumnya. Bahkan dengan perangkat-perangkat nya yang moden, daulah boleh merubah
nilai-nilai sosial seperti membalik telapak tangan, selagi hal ini tidak dihadang dengan sebuah kekuatan yang besar.
Sementara itu, daulah Islam adalah daulah berbasis akidah dan pemikiran, daulah yang didirikan pada landasan
akidah dan sistem, bukan sekadar "Perangkat proteksi" yang menjaga umat dari agresi dari dalam mahupun invasi dari luar. Tetapi
tugas daulah yang paling mendalam dan paling besar adalah mengajar dan mendidik umat berdasarkan ajaran dan prinsip-prinsip
Islam, menciptakan iklim yang baik, agar akidah Islam, pemikiran dan ajaran-ajarannya beralih ke alam nyata yang boleh dirasakan,
dapat menjadi teladan bagi setiap orang yang mencari petunjuk dan menjadi hujah bagi setiap orang yang sudah berjalan di atas
petunjuk.
Oleh kerana itu Ibnu Khaldun mendefinisikan khilafah sebagai berikut: Keharusan semua orang untuk memikul
tugas sesuai dengan pandangan syariat demi untuk kemaslahatan ukhrawi dan duniawi yang nyata. Kerana semua keadaan dunia di
sisi Pembuat syariat mesti kembali kepada kemaslahatan ukhrawi. Jadi pada hakikatnya ini merupakan perwakilan atas nama Pemegang
syariat untuk menjaga agama dan penataan (penyusunan) dunia.[8]
Oleh kerana itu Allah menyifati orang-orang beriman, tatkala mereka diberi kedudukan di dunia, atau dengan
istilah lain tatkala mereka menegakkan daulah, dengan berfirman (yang bermaksud):
"(Iaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di mukabumi, nescaya mereka mendirikan solat,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar." (Al-Hajj: 41)
Slogan daulah Islam adalah seperti yang dinyatakan Rab`y bin Amir di hadapan Rustum, pemimpin Parsi, "Sesungguhnya
Allah mengutus kami untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan terhadap manusia kepada penyembahan terhadap Allah semata,
dan kesempitan dunia kepada keselesaannya, dan kezaliman pelbagai agama kepada keadilan Islam."
Daulah yang berbasiskan akidah dan pemikiran ini tidak hanya bersifat kecil, tetapi merupakan daulah yang
memiliki risalah sedunia. Sebab Allah telah menugasi umat Islam untuk menyeru semua manusia kepada petunjuk dan cahaya, melimpahkan
kesaksian atas manusia dan pelopor bagi semua umat. Umat Islam bukan umat yang boleh berdiri sendiri secara tiba-tiba dan
bukan berdiri untuk dirinya sendiri, tetapi umat Islam dikeluarkan bagi semua manusia, dikeluarkan Allah sebagai umat yang
paling baik.
FirmanNya (yang bermaksud):
"Dan, demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia." (Al-Baqarah: 143)
Dari sini kita melihat bahawa tatkala Rasulullah s.a.w mendapat kesempatan pertama kali, tepatnya setelah
perjanjian Hudaibiyah, baginda menulis surat kepada pelbagai raja dan amir di mana pun, menyeru mereka kepada Allah dan agar
mahu bergabung di bawah panji tauhid. Baginda membebankan dosa diri mereka dan dosa rakyatnya jika mereka lari dari keimanan.
Biasanya baginda menutup suratnya dengan ayat berikut (yang nermaksud):
"Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian,
bahawa tiada kita sembah kecuali Allah dan tiada kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebahagian kita
menjadikan sebahagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah
bahwa kami adalah orang-orang yang menyerahkan diri (kepada Allah)." (Ali Imran: 64)
Kita Memerlukan Daulah Yang Melindungi Islam
Yang paling diperlukan dakwah Islam pada zaman sekarang adalah "Darul-Islam" (wilayah Islam) atau "Daulah
Islam", agar boleh menjadi tumpuan risalah Islam, akidah mahupun sistem, ibadah mahupun akhlak, kehidupan mahupun peradaban,
yang boleh menegakkan semua sektor kehidupan, yang berlandaskan kepada risalah yang universal ini, membuka pintu bagi setiap
orang Mukmin yang hendak hijrah ke sana dari wilayah orang-orang kafir, zalim dan yang menyimpang.
Daulah seperti ini merupakan kepentingan Islam, yang sekaligus merupakan urgensi kehidupan manusia. Kerana
daulah seperti itu akan menghadirkan nilai yang hidup dan kombinasi antara material dan roh bagi kehidupan manusia, mengakomodasikan
(menyesuaikan) antara kemajuan peradaban dan keluhuran akhlak, yang sekaligus merupakan batu bata pertama berdirinya daulah
Islam yang agung, yang menyatukan umat Islam di bawah panji Al-Qur`an, di bawah lindungan khilafah Islam. Tetapi kekuatan
yang memerangi Islam sentiasa berusaha sekuat tenaga agar daulah ini tidak boleh berdiri di penjuru dunia mana pun, sekalipun
wilayahnya kecil dengan penduduk yang sedikit.
Orang-orang Barat boleh membiarkan berdirinya negara Marxis. Orang-orang komunis boleh membiarkan berdirinya
negara Liberalis, tetapi mereka tidak akan membiarkan berdirinya daulah Islam yang sebenarnya.
Setiap kali ada harakah Islam yang berjaya dan dikhuatirkan akan berkembang menjadi sebuah daulah, maka secepat
itu semua kekuatan orang-orang kafir, yang bersifat antarabangsa dikerahkan ke sana , melalui cara pengusiran, sekatan bahan
makanan, penyeksaan dan pembantaian. Belum selesai dengan satu cara, sudah disusuli dengan cara lain, agar harakah itu tersepit
dan menderita, tidak lagi menuntut dan agresif.
[ Komen saya: Contoh
hari ini, kita boleh lihat dengan jelas apa yang mereka buat kepada penduduk Palestin khususnya di Gaza , apabila Hamas dipilih
secara demokrasi. ]
Andaikata Kita Mempunyai Suatu Pemerintahan
Ustaz Hasan Al-Banna pernah berkata, "Andaikan saja kita mempunyai suatu pemerintahan Islam yang benar-benar
sesuai dengan Islam, memiliki iman yang benar, bebas dalam pemikiran dan pelaksanaannya, mengetahui besarnya simpanan yang
ada di dalamnya, menyedari keagungan sistem Islam yang diwarisinya, boleh menjaga kesihatan rakyatnya dan menunjuki semua
manusia, maka kita boleh meminta kepada pemerintah Islam itu untuk mentadbir dunia dengan nama Islam, agar meminta kepada
negara-negara lain untuk mengkaji dan mengarahkan pandangan ke sana, menuntun negara-negara lain bergabung dengannya dengan
disertai dakwah secara berterusan, penyajian dalil yang memuaskan, pengiriman utusan secara berturut-turut dan penggunaan
pelbagai fasiliti dakwah yang memungkinkan. Andaikan ini terwujud, maka pemerintah itu boleh menjadi pusat rohani, politik
dan aktiviti bagi pemerintah-pemerint ah yang lain, memperbaharui kehidupan rakyat, mendorongnya kepada kemuliaan dan cahaya,
membangkitkan semangat, optimisme, kesungguhan dan amal."
Aneh sekali jika ada komunis yang boleh mendapatkan sebuah negara yang menyerukan semua ini, mengajak manusia
kepadanya dan dengan dukungan dana yang tidak sedikit jumlahnya, atau ada Fasisme dan Nazisme yang mendapatkan bangsa yang
mengagungkan dua faham ini, berjuang untuk kepentingannya, senang mengikutinya dan semua sistem hidup tunduk kepada ajaran-ajarannya.
Sungguh aneh jika ada aliran-aliran sosial dan politik memiliki para pendukung yang tangguh (kuat), mencurahkan jiwa, akal,
fikiran, harta dan usahanya untuk kepentingan faham ini, bahkan rela hidup dan mati demi faham ini.
Sementara itu, kita dapati tidak ada satu pun pemerintahan Islam hari ini yang mahu melaksanakan kewajipan
dakwah kepada Islam, yang menghimpun semua kebaikan tatanannya dan mengusir keburukan-keburukan nya, lalu menganjurkannya
kepada bangsa lain agar menjadi tatanan antarabangsa, agar menjadi jalan keluar yang benar untuk memecahkan pelbagai masalah
kehidupan manusia. Padahal Islam menjadikan dakwah sebagai kewajipan yang tidak boleh ditawar-tawar lagi, yang diwajibkan
kepada orang-orang Muslim dalam kapasitinya sebagai bangsa mahupun golongan. Firman Allah (yang bermaksud):
"Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf
dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (Ali Imran: 104)
Tetapi mana para penguasa kita yang seperti ini? Mereka semua sudah terbuai dalam ayunan orang-orang luar,
berfikir seperti mereka, mengikuti jejak mereka dan berlumba mendapatkan pengakuan mereka. Maka tidak terlalu berlebih-lebihan
jika dikatakan, kebebasan berfikir untuk merombak keadaan dan tindakan pun sama sekali tidak terbersit dalam sanubari para
penguasa ini, apalagi merombak sistem kerja mereka.
Harapan-harapan seumpama ini sudah pernah kami sampaikan kepada para pegawai di Mesir. Tetapi juga sudah
lumrah jika harapan itu tinggal harapan, sama sekali tidak memiliki pengaruh secara praktikal. Orang-orang yang sengaja menghilangkan
ciri Islam dari dirinya, keluarganya dan keadaannya secara khusus adalah orang yang paling tidak mampu menganjurkannya kepada
orang lain, apalagi mementingkan dakwah kepada orang lain. Orang yang sudah kehilangan sesuatu, mana mungkin boleh memberikan
sesuatu itu kepada orang lain?
Itu memang bukan tugas mereka (pemimpin Negara Islam hari ini) wahai ikhwan! Sudah cukup banyak pengalaman
yang memberi gambaran ketidakmampuan mereka dalam hal ini. Dakwah merupakan tugas generasi baru. Maka hendaklah mereka menatanya
(menyusunnya) secara baik dan melakukannya secara sungguh-sungguh. Ajarkanlah kebebasan jiwa dan hati, kebebasan akal dan
fikiran, kebebasan berjihad dan beramal. Isi rohnya dengan keagungan Islam dan kehebatan Al-Qur`an, kerahkan pasukannya di
bawah panji Muhammad, dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan muncul penguasa Muslim yang mahu mengorbankan diri dan
berusaha untuk kebahagiaan orang lain.
Islam dan Politik
Para imperialis dan kaki-tangannya
terus berusaha untuk menanamkan satu pemikiran bahwa Islam tidak memiliki hubungan dengan politik dan negara. Sementara pada
saat yang sama, orang-orang yang hendak melakukan pembenahan (pengislahan) , yang dipelopori Ustaz Hasan Al-Banna, juga berusaha
mati-matian untuk mengajarkan "Universaliti Islam", atau dengan istilah lain, untuk mengembalikan kepada mereka apa yang sudah
ada dan ditetapkan selama tigabelas abad sebelum ini, tepatnya sebelum masuknya misi imperialisme dan invasi pemikiran ke
negeri mereka. Ertinya, Islam meliputi seluruh sisi kehidupan manusia, dengan syariat dan petunjuknya, yang secara vertikal
dimulai semenjak dia dilahirkan hingga meninggal dunia, bahkan sebelum dia dilahirkan dan setelah dia mati. Sebab di sana
ada hukum-hukum yang berkaitan dengan janin dan hukum-hukum yang berkaitan dengan manusia setelah meninggal dunia. Adapun
secara horizontal, Islam menunjuki orang Muslim dalam adab istinjak hingga ke penerapan hukum serta hubungan antara perdamaian
dan perang.
Hasil dari jihad ini jelas sekali, iaitu adanya asas yang luas untuk mengamankan universaliti dan seruan
kepada Islam, akidah mahupun syariat, agama mahupun daulah, yang berlaku untuk semua wilayah Islam. Kembalinya orang-orang
yang menjadi mangsa invasi pemikiran yang sengaja dilancarkan orang-orang Barat dan munculnya shahwah Islam yang memadukan pemikiran dan politik, telah membalik timbangan kekuatan. Keadaan ini memaksa
pihak asing yang datang dari Barat mahupun Timur berusaha menyelenggarakan berbagai seminar, kongres dan studi fenomena Islam
yang dianggap berbahaya ini, dengan dukungan dana yang melimpah. Menurut Ustaz Faluny Huwaidy, pertemuan seumpama ini yang
mereka selenggarakan sejak beberapa tahun kebelakangan ini mencapai seratus dua puluh kali atau bahkan lebih.
Inilah yang mendorong para kakitangan Barat dan agen pemikiran mereka berusaha menghentikan fajar yang akan
menyingsing atau matahari yang akan terbit. Mereka ingin memutarkan tayar sejarah kembali ke belakang, ke masa gencar-gencarnya
(kegemilangan terus-terusan) imperialisme, sambil berseru, "Tidak ada politik dalam agama dan tidak ada agama dalam politik."
Mereka ingin mengembalikan keadaan ini hingga ke akar-umbinya. Padahal era itu sudah berlalu sekitar abad yang lampau.
Sehingga para agen Barat itu disebut sebagai "Orang Muslim yang perlu dikasihani", yang tidak mengenali Islam
kecuali melalui kacamata masa imperialisme, Islam seperti yang dilihat para ahli fiqah, ushul fiqah, tafsir, hadis dan teologi
yang berkembang di setiap mazhab, yang berkisar pada kitab taharah hingga ke jihad, yang membahas Islam sebagai akidah dan
syariat, Islam Al-Qur`an dan Sunnah, yang juga disebut Islam politik. Namun dengan pemikiran Islam ini mereka ingin membuat
manusia takut terhadap politik, kerana memang ramai orang di negeri kita yang takut terhadap hal-hal yang berbau politik.
Sebab tidak jarang dunia politik hanya mendatangkan bencana dan kesulitan bagi mereka.
Lalu apa cara kita jika memang Islam sebagaimana yang disyariatkan Allah adalah sesuatu yang berbau politik?
Apa cara kita jika Islam seperti yang dibawa Rasulullah s.a.w tidak ingin membahagi kehidupan dan manusia antara Allah dan
kaisar? Bahkan dengan lantang, Islam menegaskan bahawa Kaisar, Kisra, Fir`aun dan semua raja di bumi mesti menjadi hamba bagi
Allah semata.
Ada seorang penulis yang
menghendaki agar kita berlepas diri dari Kitab Rabb kita, Sunnah Nabi kita, ijma` umat kita, petunjuk warisan peninggalan
kita, agar selanjutnya kita menciptakan Islam moden, pasrah kepada para pemimpin dunia yang ada di seberang lautan. Dia menghendaki
"Islam rohani" atau "Islam ala pendeta", yang cukup hanya dengan membaca Al-Qur`an di sisi orang yang sudah mati bukan dibacakan
kepada orang yang hidup, memohon berkah ke tembok-tembok yang dihiasi ayat-ayat Al-Qur`an, atau Al-Qur`an itu hanya cukup
dibacakan pada awal pertemuan, sepotong dua potong ayat-ayat yang mudah dibaca, kemudian menyerahkan kepada Kaisar agar menetapkan
hukum semahunya serta berbuat sekehendaknya.
Islam yang disebutkan di dalam Al-Qur`an dan Sunnah, yang dikenali umat salaf mahupun khalaf adalah Islam
yang saling melengkapi dan utuh, tidak menerima pemisahan, iaitu Islam yang bermakna rohani, akhlak, pemikiran, pendidikan,
jihad, sosial, ekonomi dan politik. Semua sektor tercakup di dalamnya, kerana Islam mempunyai tujuan dalam semua sektor ini,
yang juga menyertainya dengan hukum dan petunjuk.
Al-Imam Hasan Al-Banna berkata tentang hubungan agama dengan politik, "Tentunya engkau jarang menemukan orang
yang berbicara tentang politik dan Islam. Kalaupun ada, paling dia hanya menyajikan sedikit huraian antara keduanya, lalu
meletakkan masing-masing pada dua makna yang berdiri sendiri-sendiri, kerana memang keduanya tidak pernah bertemu dan berkumpul
menjadi satu menurut pandangan orangramai. Oleh kerana itu organisasi seumpama ini disebut organisasi Islam non-politik, atau
organisasi keagamaan di luar politik. Sehingga tidak jarang dalam butir-butir aturan pelbagai macam organisasi Islam ditemukan
satu ayat yang berbunyi: "Organisasi tidak akan bersinggungan (bersentuhan) dengan masalah politik."
Sebelum memaparkan lebih jauh tentang pandangan ini, kami ingin mengalihkan pandangan kedua masalah yang
penting, iaitu:
1) Ada perbezaan yang jauh antara parti dan politik. Kadang keduanya bertemu dan kadang berpisah. Seseorang
boleh disebut politikus dengan segala pengertian yang terkandung di dalam kata ini, tanpa ada kaitannya sedikit pun dengan
suatu parti. Seseorang boleh disebut partisan (aktivis atau pengikut parti)
dan sama sekali tidak mengenali politik. Dua sebutan ini boleh berkumpul menjadi satu, sehingga seseorang disebut politikus
dan partisan atau partisan politikus. Kalau kami berbicara tentang politik, maka yang kami maksudkan adalah politik secara
mutlak, iaitu pandangan tentang keadaan internal dan eksternal umat, tanpa terkait dengan parti, dalam keadaan bagaimana pun.
2) Tatkala orang-orang non-Muslim tidak mengetahui Islam, atau mereka boleh menyedari masalah Islam, keberadaannya
di dalam jiwa para pemeluknya, kemantapannya di dalam sanubari orang-orang Mukmin, kesiapan setiap orang Muslim untuk mengorbankan
jiwa dan hartanya, memang mereka tidak berusaha melukai jiwa orang-orang Muslim dengan nama Islam, penampakan dan penampilannya,
tetapi mereka justeru berusaha membatasi maknanya dalam pengertian yang sempit, sehingga tidak ada lagi ertinya sisi-sisi
yang kuat dan praktikal yang terkandung di dalamnya. Maka setelah itu muncul sebutan-sebutan kosong bagi orang-orang Muslim,
yang sama sekali tidak bermanafaat dan tidak boleh mengenyangkan perut yang sedang kelaparan. Dengan begini mereka membelikan
suatu pengertian bahawa Islam adalah sesuatu dan masalah sosial adalah sesuatu yang lain, bahawa Islam adalah sesuatu dan
masalah undang-undang adalah sesuatu yang lain, bahawa Islam adalah sesuatu dan masalah-masalah ekonomi adalah sesuatu yang
lain, bahawa Islam adalah sesuatu dan masalah peradaban secara umum adalah sesuatu yang lain, bahawa Islam adalah sesuatu
yang mesti dijauhkan dari urusan politik.
Tolong beritahu kepada ku wahai ikhwan tentang Rabb kalian, jika Islam merupakan sesuatu di luar politik
dan di luar masalah sosial, ekonomi dan peradaban, lalu Islam macam apakah itu? Apakah Islam ini bererti rakaat-rakaat yang
tanpa disertai hati, apakah hanya sekadar untaian kata seperti yang dikatakan Rabi`ah Al-Adawiyah, "Istighfar yang memerlukan
istighfar berikutnya." Untuk inikah Al-Qur`an diturunkan sebagai tatanan yang lengkap, penuh kandungan hukum yang pasti dan
terperinci wahai ikhwan? Sementara Allah telah berfirman (yang bermaksud):
"Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat
dan khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (An-Nahl: 89)
Pengertian yang rendah tentang pemikiran Islam dan pembatasan sempit yang diberikan terhadap makna Islam
ini sengaja diupayakan oleh musuh-musuh Islam untuk memperbodoh- bodohkan orang-orang Muslim, lalu mereka tertawa-tawa jika
orang-orang Muslim berkata, "Kami telah meninggalkan kebebasan agama demi kalian. Undang-undang juga telah menetapkan bahawa
negara yang rasmi adalah Islam."
Kami sampaikan secara lantang dan terus terang dari atas mimbar ini wahai ikhwan, bahwa Islam tidak seperti
pengertian itu, tidak seperti yang dikehendaki oleh para kakitangan musuh-musuh Islam, dengan cara menipu dan membatasinya.
Islam adalah akidah dan ibadah, negara dan kebangsaan, kebebasan dan kekuatan, akhlak dan material, peradaban dan undang-undang.
Dengan status ke-Islamannya, setiap orang Muslim dituntut membantu setiap urusan umat. Sesiapa yang meremehkan urusan orang-orang
Muslim, maka dia tidak termasuk golongan orang-orang Muslim.
Kami yakin, orang-orang salaf di antara kita memahami Islam seperti pemahaman ini. Dengan pemahaman seperti
ini, mereka menetapkan hukum, demi Islam mereka berjihad, di atas landasannya mereka bermu`amalah, dalam batasan-batasannya
mereka menyusuri setiap urusan kehidupan yang praktikal sebelum menyusuri urusan akhirat dan rohani. Semoga Allah merahmati
khalifah yang pertama, Abu Bakar Ash-Shidiq yang berkata, "Andaikata ada tali unta yang hilang, tentu aku boleh mendapatkan
hukumannya di dalam Kitab Allah."[9]
Seorang sejarawan yang handal, Dr Dhiya`uddin Ar-Rais berkata di dalam bukunya, An-Nazhariyyatus- Siyasiyah Al-Islamiyah, "Di sana tidak ada keraguan bahawa tatanan (daulah) yang didirikan
Rasulullah s.a.w dan orang-orang Mukmin yang bersama baginda di Madinah, jika dilihat sisi penampakannya secara praktikal,
lalu dikiaskan dengan politik pada zaman sekarang, maka tatanan ini boleh disebut politik, dengan seluruh pengertian yang
terkandung di dalam kata ini. Namun pada saat yang sama juga berorientasi agama, jika pertimbangannya tertuju kepada tujuan,
pendorong dan landasan spiritualnya. "
Jika pada saat yang sama suatu tatanan (daulah) boleh disifati dengan dua sifat, sebab hakikat Islam itu
bersifat universal, menghimpun segala masalah dari dua sisi, material dan spiritual, meliputi amal manusia di dunia dan di
akhirat. Bahkan falsafahnya bersifat umum, mengakomodasikan (menyesuaikan) antara keduanya, tidak mengenal perbezaan di antara
keduanya kecuali hanya dari sisi pandang, tetapi dari segi zatnya tetap menjadi satu kesatuan yang tidak terpisah. Hakikat
tabiat Islam ini sudah jelas dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut atau bukti penguat, yang boleh dilihat dari hakikat-hakikat
sejarah dan merupakan keyakinan orang-orang Muslim di setiap masa pada zaman dahulu. Masalah ini sudah diketahui para orientalis,
sekali pun mereka tidak berdekatan dengan Islam. Namun di sana ada segolongan orang dari para pemeluk Islam, yang menyebut
dirinya sebagai "Mujaddid" (Pembaharu) yang terang-terangan mengingkari hakikat ini. Mereka menyatakan bahawa Islam hanya
sekadar dakwah agama.[10]
Dengan kata lain, Islam hanya sekadar suatu keyakinan atau hubungan spiritual antara seseorang dengan Tuhannya,
tidak ada hubungannya dengan urusan-urusan material di dalam kehidupan dunia ini, seperti urusan perang, pengaturan harta
benda, terlebih lagi politik. Di antara perkataan mereka, "Sesungguhnya agama adalah sesuatu dan politik adalah sesuatu yang
lain."
Untuk membantah perkataan mereka ini, tidak tepat jika kami mengutip pendapat para ulama Islam. Kerana cara
ini tidak membuat mereka merasa puas terhadap pendapat ulama itu. Kami juga tidak akan menyodorkan hakikat-hakikat sejarah,
kerana dengan sikap angkuh mereka mengecilkan hakikat-hakikat itu. Tetapi kami cukup menghadirkan sejumlah pernyataan para
tokoh orientalis berkaitan dengan perkara ini. Mereka telah menjelaskan pendapat masing-masing melalui ungkapan-ungkapan yang
jelas dan pasti. Sebab para pembaharu itu tidak mungkin mengaku bahwa mereka lebih dapat dipercayai dalam konteks zaman moden,
dan tidak lebih hebat dalam penggunaan metod pengkajian kontemporari serta ilmiah. Inilah di antara pendapat para orientalis
ini.
1. Dr V. Fitzgerald berkata, "Islam bukan hanya sekadar agama (A Religion), tetapi ia merupakan tatanan politik
(A Political System). Sekalipun pada dekad kebelakangan ini muncul beberapa orang Islam, yang biasa disebut "Modenis", berusaha
memisahkan dua sisi ini, tetapi semua pemimpin Islam telah membangun suatu landasan bahawa dua sisi ini saling bertautan,
yang satu tidak mungkin dipisahkan dari yang lain,"[11]
2. C.A. Nallino berkata, "Pada waktu yang sama Muhammad telah membangun agama (A Religion) dan daulah (A
State). Batasan-batasan di antara keduanya saling berdampingan selama hidupnya."[12]
3. Dr Schacht berkata, "Kerana Islam ini difahami lebih sekadar agama, maka ia juga menggambarkan teori-teori
hukum dan politik. Dan sejumlah pendapat menyatakan bahwa ia adalah tatanan peradaban yang lengkap, mencakupi agama dan daulah
secara bersamaan.”[13]
4. R. Strothmann berkata, "Islam adalah fenomena agama yang berwawasan politik. Sebab pendirinya adalah seorang
nabi dan sekaligus seorang politikus yang bijak, atau disebut pula seorang negarawan.”[14]
5. D. B. Macdonald berkata, "Di sana (di Madinah) berdiri negara Islam yang pertama dan di sana diletakkan
dasar-dasar pemerintahan untuk undang-undang Islam."[15]
6. Sir T. Arnold berkata, "Pada saat yang sama, nabi adalah seorang pemimpin agama dan pemimpin negara."[16]
7. Gibb berkata, "Dalam keadaan seperti itu nyatalah bahwa Islam bukan sekadar keyakinan agama secara individual,
tetapi ia mengharuskan berdirinya sebuah masyarakat yang merdeka, mempunyai tatanan tersendiri dalam hukum, undang-undang
dan sistem secara khusus."[17]
Sesiapa yang belum merasa puas dengan pernyataan orang-orang Barat ini, bererti dia layak disebut orang yang
sombong.
[ Komen saya: Kalau dilihat semua
kenyataan para orientalis di atas, no wonderlah paderi di England baru–baru ini boleh keluarkan kenyataan respect Islam.
]
------------ --------- --------- --------- --
Nota:
[1] Di antara orang-orang yang menulis bantahan itu adalah Al-Allamah Al-Mujahid Asy-Syaikh Muhammad Al-Khadhr
Husain, Syaikh Al-Azhar sebelum itu dalam bukunya Naqdhu Kitabil-Islam Wa Ushulul-Hukmi,
begitu pula yang dilakukan seorang mufti Mesir pada masa itu, iaitu Al-Allamah Asy Syaikh Muhammad Bukhait Al-Muthi`y.
[2] Huraian lebih lanjut tentang masalah ini, lihat buku karangan kami (Dr Yusuf Al-Qardhawy) , Syumulul-Islam, dan pengkhususan dari Universiti, dalam buku kami, Al-Khasha'ishul-
ammah Lil-Islam.
[3] Sebagai ganti dari hijrah ke daulah Islam pada zaman sekarang ialah bergabung dengan jema`ah Islam yang berusaha mendirikan
daulah Islam. Ini merupakan kewajipan setiap orang Muslim sesuai dengan kesanggupannya.
[4] Hadis ini diriwayatkan Ishaq bin Rahawaid, dari Suwaid bin Abdul-Aziz, dia adalah dhaif, juga diriwayatkan Ahmad bin
Muni` para rawinya thiqat, juga diriwayatkan At-Tabrany, yang di dalamnya ada Yazid bin Murthid yang tidak pernah mendengar
dari Muadz. Ibnu Hibban mensahihkan hadis ini, namun jama`ah sepakat mendha`ifkannya. Lihat Majma`uz-Zawaid, 5/238. Kerana
kurang kuat inilah kami tidak menuliskan matannya. (penterjemah)
[5] As-Siyasah Asy-Syar`iyah, disebutkan dalam Majmu` Fatawa, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, 28/390-391
[6] Majmu` Fatawa, 28/264.
[7] Ihya` Ulumuddin, 1/71.
[8] Muqaddimah, Ibnu Khaldun, 2/518.
[9] Dinukil dari risalah Muktamar para pelajar Al-Ikhwanul- Muslimun
[10] Tokoh pertama yang terang-terangan menyatakan pendapat ini dan sekaligus membelanya adalah Ustaz Ali Abdurrazzaq, seorang
bekas hakim di Al-Manshurah, kemudian dia menjadi menteri wakaf. Dia menulisnya pada tahun 1925 di dalam bukunya, Al-Islam
Wa Ushulul-Hikmi. Bantahan lebih lanjut dari sedikit pemaparan ini akan kami sampaikan pada huraian mendatang, iaitu pada
Bab IV dari buku ini, dengan tajuk: Bantahan terhadap pendapat sebahagian Modenis.
[11] Dalam buku Muhammedan.
[12] Dikutip Sir T. Arnold dalam bukunya, the Caliphate, m.s. 198
[13] Encyclopedia of Social Sciences, Jld. Vol. VIII, m.s. 333
[14] The Encyclopedia of Islam, iv, m.s. 350
[15] Rion - Development of Islam Theology - Jurprudence and Constitual Theory , New York , hal 67.
[16] The Caliphate Oxford . m.s. 30.
[17] Muhammedanism, 1949, m.s. 3.
|